Artikel inspirasi

Kaum Difabel dan Pandangan Fikih Islam

Fisik dan akal sehat merupakan privilege yang kerap dilupakan oleh manusia. Dengan fisik dan akal yang sehat, kita bisa melakukan banyak hal dengan mudah, termasuk beribadah dan menunaikan kewajiban sebagai umat Islam.

Kemudahan seperti itu belum tentu bisa dirasakan oleh saudara kita yang menyandang disabilitas (kaum difabel). Fikih Islam telah mengatur hak-hak dan kewajiban penyandang disabilitas. Pada dasarnya, Islam memandang semua manusia secara setara. Tindakan diskriminatif terhadap kaum difabel sama sekali dilarang dalam Islam.

Manusia dinilai dari tingkat ketakwaannya

Sebetulnya, nilai-nilai universal dalam Islam sudah sangat mendukung kesetaraan hak dan kewajiban kaum difabel. Contohnya seperti Al-Adalah (keadilan, surat An-Nisa: 135 dan Al-Maidah: 8), Al-Musawa (kesetaraan, Al-Hujurat: 13), dan Al-Hurriyyah (kebebasan, At-Taubah: 105).

Nilai-nilai ini menjadi landasan atau dasar perlindungan terhadap hak-hak kaum difabel. Harapannya, sikap dan perilaku diskriminatif kepada mereka pun bisa diminimalisir. Kaum difabel berhak mendapatkan sikap dan perilaku yang manusiawi, tidak terkecuali akses yang mudah untuk beribadah.

Dengan kata lain, fiqih Islam memandang setara seluruh umatnya. Dalam Islam, hal yang membedakan satu manusia dengan manusia lain adalah tingkat ketakwaannya. Hal ini berlaku juga pada kaum difabel.

Dukungan Islam terhadap kaum difabel

Pandangan fikih Islam terkait kaum difabel ini bahkan sudah tercantum dalam kitab suci Al Quran, tepatnya dalam surat An-Nur ayat 61. Kamu bisa cek potongan ayatnya di bawah ini:

لَيْسَ عَلَى اْلأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَعَلَى اْلأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلاَعَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاَتِكُمْ أَوْ مَامَلَكْتُم مَّفَاتِيحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

\”Tidak ada halangan bagi penyandang disabilitas netra, tidak (pula) bagi penyandang disabilitas daksa, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumahmu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.

Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat dan kebaikan. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.\” (QS An-Nur: 61)

Potongan ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa Islam sangat mendukung kesetaraan sosial antara kaum difabel dan bukan. Fiqih Islam mengharuskan kamu dan kita semua untuk memperlakukan kaum difabel tanpa perbedaan apa pun.

Kaum difabel tetap harus menjalankan kewajibannya

Dukungan Islam terhadap kesetaraan kaum difabel tidak hanya ditunjukkan melalui kesamaan hak, tapi juga keharusan untuk menjalankan berbagai kewajiban sebagai umat Islam. Dalam fikih Islam, kaum difabel tetap diharuskan untuk menjalankan kewajiban syariat selama akal dapat bekerja baik. Namun, mereka diperbolehkan untuk melakukannya sesuai dengan batas kemampuan masing-masing.

Misalnya, bagi kaum difabel tuna daksa, mereka diperbolehkan untuk salat sambil duduk jika kondisi mereka tidak memungkinkan mereka untuk berdiri. Melalui surat At-Taghabun ayat 16, Allah telah memerintahkan kita semua untuk bertakwa semampu kondisi masing-masing:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

 “Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS at-Taghabun: 16)

Bahkan Rasulullah juga memudahkan umat Islam dalam melaksanakan ibadah salat. Saat sahabat nabi yang bernama Imran bin Hushain RA. terkena suatu penyakit yang membuat beliau kesulitan untuk salat dengan sempurna, Rasulullah ﷺ berkata:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Salatlah sambil berdiri. Jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari).

Fikih Islam tidak pernah sekali pun memandang kaum difabel secara berbeda. Semua setara di mata Allah Ta’ala, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan masing-masing. Jadi, kalau Allah saja menganggap kita semua sama, mengapa kita harus membedakan satu sama lain?