Artikel inspirasi

Ustadz Adi Hidayat: Saya Ganti Pakaian Lusuh Ibunda dengan Kain Ihram

Di balik laki-laki sukses selalu ada perempuan hebat. Pepatah ini menggambarkan sosok Ustadz Adi Hidayat (UAH), ulama kenamaan yang ceramahnya di masjid manapun selalu dipadati umat, karena materi-materinya yang cerdas dan mencerahkan jiwa.

Pengorbanan Ibunda Demi Pendidikan UAH

Suatu ketika, UAH bercerita tentang pengorbanan sang ibu menyokong pendidikannya. Saat itu sekitar tahun 1997, Indonesia tengah dilanda krisis moneter. UAH lahir dari keluarga sederhana, ayah-ibunya bekerja sebagai pengajar. Namun UAH yang saat itu sedang menuntut ilmu di pesantren, tak pernah kekurangan uang.

Rupanya sang ibu memastikan semua keperluan UAH terpenuhi. Ibunya bertanya kepada orang tua santri lain, berapa bekal yang mereka beri kepada anaknya. Dari sekian banyak jawaban, sang ibu memutuskan memberi UAH nominal tertinggi setiap bulannya.

Kemudian datanglah libur pesantren. UAH pun pulang ke rumah. Saat bertemu sang bunda, ia tertegun melihat ibunya memakai baju kurang layak, saking lusuhnya UAH mengibaratkan seperti kain pel. Dengan penasaran, UAH masuk kamar sang ibu, membuka lemari bajunya.

UAH terkejut, tak nampak baju di dalamnya. Ia pun bertanya kepada sang Kakak.

“Mana pakaian Mama?” tanya UAH.

Sang Kakak menjawab dengan tangis.

“Mama telah menjual semua pakaian dan perhiasannya untuk pendidikan kita,” jawab sang Kakak terisak-isak. Lalu mengalirlah cerita dari mulutnya.

Mendengar pengakuan kakaknya, UAH sangat terpukul. Terbayang olehnya sang ibu harus berangkat mengajar setiap hari, namun mencukupkan diri dengan sarapan satu pisang dan segelas kopi. Sang ibu ‘bertemu’ nasi hanya saat makan malam, sehari sekali.

Betapa besarnya pengorbanan sang bunda demi memastikan pendidikannya berjalan lancar. Saat itu, dengan penuh tekad UAH berikrar, “Ya Allah, saya akan ganti baju ibu saya dengan kain ihram, dan akan saya gandeng tangannya di Masjidil Haram.”

Menjadi Petugas Haji

Kemudian UAH mendapat beasiswa kuliah ke Libya. Di sana ia belajar dengan sungguh-sungguh. Prestasi demi prestasi ia capai. Hingga suatu hari, pemerintah Indonesia memerintahkan UAH menjadi petugas haji.

Dengan gembira, UAH mengabari sang ibu. Saat itu Februari 2010.

“Ma, insya Allah saya akan haji,” ungkap UAH.

“Alhamdulillah, Nak, kapan berangkat?” tanya sang ibu penuh antusias.

“Insya Allah tahun ini—tapi saya tidak akan pernah berangkat kecuali Mama pun berangkat!”

“Dari mana biayanya?” tanya sang bunda dengan nada pesimis, tapi tersenyum.

“Allah akan kasih, Ma. Saya sedang bekerja karena Allah, mustahil Allah akan sia-siakan.”

“Berapa biaya haji, Ma?” UAH melanjutkan tanya.

“Porsinya Rp 25 juta,” jawab sang Bunda.

“Kapan harus ada?”

“Bulan Juli.”

Dalam waktu lima bulan itu, UAH mengumpulkan rupiah. Uang beasiswa, honor mengajar, semuanya UAH tabung demi biaya haji sang ibu.

Sepekan sebelum penutupan pendaftaran haji, UAH melihat hasil tabungannya. Di sana tertera: 1 juta rupiah. Sangat jauh dari target seharusnya. UAH sempat kecewa.

Namun pertolongan Allah datang tiga hari menjelang penutupan. Sekelompok ibu-ibu pengajian KBRI mengabari UAH, bahwa mereka bersedia menanggung biaya haji ibu sang ulama. Semua kekurangan biaya akan dilengkapi.

Betapa bahagianya UAH, nama sang ibu akhirnya bisa didaftarkan haji.

Buah Manis Pengorbanan

UAH yakin, Allah menjawab do\’anya sebagai buah manis pengorbanan seorang ibu. Akan tetapi beberapa hari kemudian, datang sebuah berita dari sang Bunda.

“Nak, pengumuman peserta haji sudah ada,” ujar sang Bunda.

“Alhamdulillah, kapan Mama berangkat?” tanya UAH.

“Tahun 2013…” ujar sang Bunda.

UAH kaget. Kalau begitu, janjinya berhaji bersama sang Bunda tidak bisa terwujud.

“Kan saya hajinya 2010, Ma. Enggak bisa dong, Mama hajinya harus 2010,” sela UAH.

“Nak, jangan pernah mengambil hak orang lain. Allah kasih 2013, Alhamdulillah,” tegas sang Bunda.

UAS tertegun. Perkataan sang ibu memang benar, namun UAH masih yakin Allah menolongnya mewujudkan impiannya.

“Ma, kita tidak harus mengambil hak orang lain, tapi kita bisa meminta kepada Allah yang memanggil kita, boleh jadi Allah memberikan kita tambahan kuota pada tahun ini,” harap UAH.

Setelah percakapan itu, UAH memperbanyak doanya, meminta keajaiban dari Allah.

Tiba-tiba, datang kabar dari sidang OKI (Organisasi Kerjasama Islam) di Istanbul. Sebuah keputusan dibuat: ada tambahan kuota haji, dan Indonesia mendapat 22 ribu kursi tambahan.

Nama ibu UAH termasuk dalam daftar kuota tambahan haji tahun 2010 itu.

Dalam waktu lima bulan, tanpa tambahan biaya, tanpa mendzalimi hak orang lain, UAH dan sang Ibu bisa berangkat haji bersama.

Di depan Masjidil Haram, akhirnya UAH bisa menepati janjinya, mengganti pakaian lusuh sang Bunda dengan kain ihram, juga menggandeng tangan ibunda tercinta mengelilingi Ka’bah.

Masya Allah, betapa indahnya skenario Allah, mengobati pengorbanan sang ibu dengan memenuhi rukun Islam kelima, ditemani anak sholeh yang ia didik sesuai tuntunan Islam.

Perjuangan Ibu Tercatat dalam Al Quran

Sebuah pepatah lain mengatakan, “Sesungguhnya seorang ibu itu tidak pernah tidur, karena ia tidak pernah benar-benar terlelap. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya berkecamuk mengkhawatirkan kita, anak-anaknya.”

Bahkan Allah abadikan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu di dalam Al Quran.

\”Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (QS. Al Ahqaf: 15)

Ibu sanggup mengorbankan diri demi kebaikan anaknya. Ibu lebih memilih ia yang menanggung segala kesulitan, daripada melihat anaknya menderita.

Maka tak perlu menunggu Hari Ibu. Bahagiakanlah ibunda selama ia ada, karena kelak setelah ia pergi, baru kita sadari betapa butuhnya kita akan nasihatnya. Juga betapa rindunya kita pada tangan lembutnya yang mengusap air mata kita.

Adapun jika ibunda telah lama pergi, selalu sebut namanya dalam lantunan doa kita. Jadilah anak sholeh, agar bisa mengalirkan pahala jariyah yang meneranginya di alam kubur. (*)

(Referensi: Video “AA GYM TERHARU !! Dengar Kisah UAH | Kajian Spesial”,
channel Youtube Aagym Official, dipublikasikan pada 14 Desember 2019;
Foto: Associated Press)