Artikel inspirasi

Bukti Islam Toleran? Aya Sofya Jawabnya

Islam kerap dituding sebagai agama intoleran. Padahal sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Salah satu bukti kuat Islam toleran adalah sebuah bangunan bernama Aya Sofya di Istanbul (dulu Konstantinopel), Turki. Berbicara tentang Aya Sofya erat kaitannya dengan sejarah seorang pahlawan muslim, Muhammad Al Fatih.

Penaklukkan Konstantinopel

Pada suatu ketika di masa lalu, Konstantinopel adalah lambang kekuatan dan kejayaan. Empat imperium dunia pernah menjadikannya ibu kota: Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Romawi Timur, Kekaisaran Latin, dan Kesultanan Usmaniyah (Ottoman). Di tahun ke 532 M, Kaisar Yustinianus I, memerintahkan dua ahli ukur Yunani membuat sebuah bangunan yang bisa menjadi kebanggaan kota dan imperium mereka.

Saat itu, Konstantinopel adalah ibu kota Kekaisaran Romawi Timur yang memeluk Kristen Ortodoks. Maka kedua ahli itu—Isidore dan Anthemius—memutuskan membangun sebuah katedral.  Memakan waktu empat tahun, akhirnya pada 537 M berdirilah Hagia Sophia, yang berarti Kebijaksanaan Suci. Bangunan ini dianggap sebagai lambang arsitektur Bizantium dan disebut-sebut ‘telah mengubah sejarah arsitektur’.

Selama hampir seribu tahun, Hagia Sophia berdiri sebagai gereja, tapi pada 20 Jumadil Awal 857 H atau 29 Mei  1453 M, sejarah berubah. Hari itu, Sultan Mehmed II bersama pasukan muslimnya menaklukkan Konstantinopel. Seluruh penduduk dikumpulkan. Namun, banyak di antara mereka yang berlindung di dalam Hagia Sophia.

Sesampainya di katedral, Sang Sultan turun dari kudanya, sujud syukur kepada Allah Ta’ala, lalu memasuki Hagia Sophia. Ia mendekati penduduk yang gelisah.

“Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah, dan satu nasib. Kalian bebas menjaga agama kalian,” ucapnya menenangkan, seperti yang digambarkan dalam film “Fetih 1453”—film Turki karya sutradara Faruk Aksoy.

Membangun Tanpa Menghancurkan

Hari itu pula, Sultan ketujuh Turki Usmani ini memerintahkan katedral diubah menjadi masjid. Namanya menjadi Aya Sofya, ejaan bahasa Arab dari Hagia Sophia. Lalu pada Jumat, 2 Juni 1453 M, ia bersama pasukannya menggelar shalat Jumat pertama di Masjid Aya Sofya.

Dalam proses mengubah katedral menjadi masjid, Sultan memerintahkan tak ada penghancuran. Semua patung, salib, dan lukisan dilepas. Dinding bergambar dicat. Untuk memberi nuansa Islam, tujuh kaligrafi besar dipasang di ruang utama. Masing-masing bertuliskan nama Nabi Muhammad ﷺ, empat khalifah pertama—Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta dua cucu Nabi ﷺ, Hasan dan Husein. Menara masjid untuk azan, mimbar, dan mihrab untuk imam juga ditambahkan. Ada pula kaligrafi besar berlafadz Allah Ta’ala.

Islam Agama Toleran

Keberhasilan Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel tanpa menghancurkan kota dan menumpahkan darah penduduk, membuatnya dijuluki Muhammad Al Fatih—Sang Penakluk. Ia memerintah dengan adil dan toleran. Antar pemeluk agama saling menghormati. Umat Kristen dan agama lain dipersilakan menjalankan keyakinannya seperti sebelumnya.

Hingga kini, di dalam Aya Sofya masih bisa ditemukan puluhan ribu surat dari Khalifah Usmaniyah, yang isinya berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan memakmurkan penduduk ataupun orang asing pencari suaka—tanpa memandang agamanya.

Apa yang dilakukan Al Fatih telah dicontohkan Nabi ﷺ saat menaklukkan Mekah (Fathul Makkah). Tanpa adu pedang yang berarti, Rasulullah dan sepuluh ribu pasukan memasuki Mekah dan menjamin perlindungan penduduknya tanpa memaksakan keyakinan. Sejarah telah membuktikan Islam adalah agama yang cinta damai, toleran, dan penuh kasih sayang.

Hari ini, Aya Sofya berfungsi sebagai museum. Tapi ia masih kokoh berdiri di tempatnya semula, di Konstantinopel yang telah berubah namanya menjadi Istanbul. Di kawasan yang sama, berdiri Masjid Biru karya arsitek muslim Mimar Sinan, yang dibangun lebih dari seribu tahun setelah Aya Sofya. Kedua tempat ini menjadi destinasi populer Turki yang didatangi para peziarah maupun peminat sejarah dari berbagai penjuru dunia.

Baca juga: Masjid Biru, Saksi Kejayaan Turki Usmani

(Sumber: Republika, Wikipedia, hidayatullah.com, teguhtimur.com. Photo by Rumman Amin on Unsplash)