Artikel

Tragedi Ibu dan Anak di Bandung: Alarm Pentingnya Layanan Kesehatan Mental

Kasus tragedi ibu dan anak di Bandung baru-baru ini mengguncang hati masyarakat. Peristiwa ini bukan sekadar kisah duka, tetapi menjadi alarm keras bahwa kita masih menghadapi persoalan serius terkait kesehatan mental.

Di tengah hiruk pikuk kota besar, layanan psikologis sering kali sulit diakses, sementara stigma masih kuat melekat.

Akibatnya, banyak keluarga memilih diam hingga masalah menumpuk dan berakhir pada tindakan ekstrem seperti pemb*vnhan* atau percobaan b*nuh diri.

Akar Masalah: Tekanan Sosial dan Ekonomi

Kehidupan masyarakat perkotaan, khususnya di Bandung, kerap diwarnai dengan tekanan ekonomi, sosial, dan budaya. Harga kebutuhan pokok yang terus naik, biaya pendidikan yang tinggi, serta kompetisi kerja yang ketat menjadi pemicu stres berkepanjangan.

Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap berbicara tentang mental health adalah tanda kelemahan. Akibatnya, banyak individu memendam masalah, yang akhirnya berimbas pada hubungan keluarga.

Kita sering mendengar tetangga atau kerabat berkata, “Sabar saja, jangan banyak mengeluh, nanti juga hilang sendiri.” Padahal, diam bukan solusi, melainkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Peran Kesehatan Mental

Kesehatan mental harus dipandang sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Konsultasi dengan psikolog atau konselor bukanlah bentuk kelemahan, melainkan keberanian untuk mencari jalan keluar.

Bandung sebagai kota besar seharusnya bisa menjadi pionir dalam menghadirkan layanan konseling gratis di puskesmas atau pusat layanan masyarakat.

Jika masyarakat memiliki akses mudah, stigma perlahan akan berkurang. Orang tidak lagi merasa malu saat berkata, “Saya butuh bantuan profesional.” Inilah langkah awal untuk mencegah tragedi serupa terulang.

Pendekatan Keagamaan dan Dukungan Spiritual

Selain layanan medis, dukungan spiritual juga sangat penting. Tokoh agama memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat dan mampu memberikan kekuatan moral. Lewat pengajian, khutbah, atau bimbingan rohani, jamaah dapat menemukan ketenangan batin serta rasa kebersamaan.

Namun, peran tokoh agama perlu lebih adaptif terhadap isu psikologis. Bukan hanya menekankan aspek ibadah, tetapi juga memberikan penguatan bahwa mencari bantuan psikolog adalah bagian dari ikhtiar. Sinergi antara psikolog dan ulama bisa menciptakan sistem pendampingan yang lebih utuh.

Dampak Sosial dan Budaya

Tragedi seperti ini meninggalkan luka mendalam. Bukan hanya pada keluarga inti, tetapi juga pada lingkungan sekitar. Anak-anak yang kehilangan orang tua akibat tindakan ekstrem berpotensi mengalami trauma jangka panjang.

Sementara itu, masyarakat sekitar ikut merasakan shock kolektif. Di sinilah pentingnya pendekatan pemulihan yang komprehensif, melibatkan tenaga medis, psikolog, tokoh agama, dan dukungan komunitas. Jika dibiarkan, trauma sosial ini akan diwariskan ke generasi berikutnya.

Refleksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pemerintah harus memperkuat kebijakan kesehatan mental. Tidak cukup hanya ada regulasi di atas kertas, tetapi perlu wujud nyata berupa layanan konseling di setiap kecamatan.

Masyarakat harus mengikis stigma. Jangan lagi menganggap orang yang berkonsultasi ke psikolog sebagai “orang gila”.

Sebaliknya, apresiasi keberanian mereka yang mau terbuka. Keluarga perlu menjadi ruang aman. Rumah adalah tempat pertama di mana setiap individu seharusnya merasa diterima, bukan dihakimi.

Tokoh agama diharapkan mampu mengedepankan pendekatan spiritual yang menenangkan sekaligus mendorong umat untuk mencari bantuan medis jika dibutuhkan.

Penutup

Tragedi ibu dan anak di Bandung adalah cermin bahwa kita tidak bisa lagi menunda tindakan nyata. Kesehatan mental adalah kebutuhan, bukan pilihan.


Sumber gambar: Abdul Ridwan, Unsplash